Lombok Media Watch
Tekno

Starlink Setor Rp 23 Miliar ke Pemerintah RI, Bukan Rp 2 Miliar

Penegasan Biaya Hak Penggunaan (BHP) ISR untuk Starlink

MATARAM – Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kominfo, Ismail, menegaskan bahwa biaya hak penggunaan (BHP) izin stasiun radio (ISR) untuk layanan Starlink adalah sekitar Rp 23 miliar per tahun, bukan Rp 2 miliar seperti yang beredar di media massa. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan pers pada tanggal 24 Juni 2024.

Ismail menjelaskan bahwa angka BHP ISR sebesar Rp 23 miliar didasarkan pada dasar hukum yang sama seperti penyelenggara satelit lainnya. Penentuan biaya hak penggunaan ini mengacu pada regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, yang bertujuan untuk memastikan adanya kesetaraan antara semua penyedia layanan satelit yang beroperasi di Indonesia.

Dalam penjelasannya, Ismail menekankan pentingnya transparansi dan akurasi informasi yang beredar di media massa. Menurutnya, angka yang sebenarnya telah diverifikasi dan dihitung berdasarkan metode yang konsisten dengan standar internasional serta regulasi dalam negeri. Dengan demikian, BHP ISR sebesar Rp 23 miliar per tahun untuk layanan Starlink merupakan angka yang sah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Langkah ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi Starlink serta penyelenggara satelit lainnya dalam menjalankan operasi mereka di Indonesia. Selain itu, dengan adanya klarifikasi ini, diharapkan dapat mengurangi misinformasi yang berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dan para pemangku kepentingan terkait.

Ke depan, Kominfo berkomitmen untuk terus memantau dan menegakkan regulasi terkait BHP ISR guna memastikan bahwa semua penyelenggara layanan satelit mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini penting untuk menjaga keadilan dan persaingan sehat di industri telekomunikasi satelit di Indonesia.

Dasar Hukum Penetapan BHP ISR

Ismail, dalam penjelasannya, menggarisbawahi bahwa besaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) Izin Stasiun Radio (ISR) untuk layanan satelit, termasuk Starlink, secara tegas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023. Peraturan ini berkaitan dengan jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). PP No. 43 Tahun 2023 ini menggantikan aturan-aturan sebelumnya yang mungkin belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan teknologi dan kebutuhan industri satelit saat ini.

Proses penetapan PP No. 43 Tahun 2023 tidak dilakukan secara sepihak. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo, mengadakan serangkaian konsultasi publik dengan berbagai pemangku kepentingan. Konsultasi ini melibatkan penyedia layanan satelit, asosiasi industri, akademisi, serta masyarakat umum. Melalui konsultasi publik tersebut, pemerintah mendapatkan berbagai masukan yang konstruktif untuk memformulasikan kebijakan yang adil dan berimbang.

Selain konsultasi publik, tahapan harmonisasi dengan sejumlah kementerian terkait juga menjadi bagian dari proses penetapan peraturan ini. Harmonisasi dilakukan dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan kementerian lainnya yang memiliki keterkaitan dengan regulasi dan operasional layanan satelit. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan yang ditetapkan tidak bertentangan dengan kebijakan sektoral lainnya dan dapat diimplementasikan secara efektif.

Regulasi yang jelas dan transparan seperti yang diatur dalam PP No. 43 Tahun 2023 ini menjadi landasan yang kuat bagi penyelenggaraan layanan satelit di Indonesia. Dengan adanya dasar hukum yang kokoh, diharapkan semua penyedia layanan satelit, termasuk Starlink, dapat beroperasi dengan lebih pasti dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keselarasan aturan ini juga memberikan kepastian hukum bagi investor dan pelaku industri satelit dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia.

Peran Kominfo dalam Penetapan dan Penagihan BHP ISR

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki peran krusial dalam pengenaan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Izin Stasiun Radio (ISR) sesuai dengan regulasi yang diberlakukan. Proses ini dimulai dengan penghitungan dan penetapan besaran BHP ISR yang harus dibayarkan oleh penyelenggara satelit. Penghitungan ini dilakukan berdasarkan formula dan indeks yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2023, serta aturan pelaksanaannya.

Formula dan indeks yang digunakan oleh Kominfo dalam menghitung besaran BHP ISR mencakup berbagai faktor, termasuk kapasitas frekuensi yang digunakan, jangkauan layanan, dan jenis layanan yang disediakan oleh penyelenggara satelit. Perhitungan ini dilakukan secara transparan dan akuntabel untuk memastikan bahwa setiap penyelenggara satelit membayar BHP ISR sesuai dengan penggunaan spektrum frekuensinya.

Setelah besaran BHP ISR ditetapkan, Kominfo memiliki tanggung jawab untuk menagihkan kewajiban tersebut kepada penyelenggara satelit yang bersangkutan. Proses penagihan ini dilakukan secara sistematis dan teratur, dengan tujuan memastikan bahwa penerimaan negara dari BHP ISR dapat terealisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kominfo juga memastikan bahwa setiap penyelenggara satelit memenuhi kewajiban pembayaran BHP ISR tepat waktu untuk menghindari penalti atau sanksi yang diatur dalam peraturan yang ada.

Selain itu, Kominfo juga berperan dalam pengawasan dan penegakan kepatuhan terhadap aturan BHP ISR. Ini termasuk memonitor pembayaran, memberikan peringatan kepada penyelenggara yang belum memenuhi kewajiban, serta mengambil tindakan hukum jika diperlukan. Dengan demikian, peran Kominfo tidak hanya sebatas penetapan dan penagihan, tetapi juga memastikan bahwa seluruh proses berjalan sesuai dengan regulasi dan memberikan kontribusi optimal bagi penerimaan negara.

Perbedaan BHP ISR Satelit dan BHP IPFR Seluler

Ismail menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Biaya Hak Penggunaan (BHP) Izin Stasiun Radio (ISR) satelit dan BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) seluler. Perbedaan ini penting untuk dipahami mengingat implikasinya bagi penyelenggara layanan seperti Starlink di Indonesia. BHP IPFR seluler bersifat eksklusif, yang berarti satu pita frekuensi hanya dapat digunakan oleh satu pemegang izin di satu wilayah layanan. Hal ini memastikan bahwa pemegang izin memiliki kendali penuh atas pita frekuensi yang dialokasikan, menghindari interferensi dan mengoptimalkan kualitas layanan bagi pengguna akhir.

Sebaliknya, BHP ISR satelit tidak memiliki sifat eksklusif yang sama. Satu pita frekuensi tertentu dapat digunakan bersama oleh beberapa penyelenggara layanan satelit. Hal ini dimungkinkan melalui pola sharing frekuensi dan pemanfaatan slot orbit yang berbeda atau pembagian wilayah cakupan. Sistem ini memungkinkan penggunaan yang lebih efisien dari spektrum frekuensi yang terbatas, serta menurunkan biaya operasional bagi penyelenggara layanan satelit. Dengan demikian, ISR satelit dapat memberikan fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pengelolaan frekuensi.

Untuk layanan seperti yang ditawarkan oleh Starlink, perbedaan ini berarti mereka tidak memiliki hak eksklusif atas pita frekuensi tertentu di wilayah Indonesia. Sebaliknya, mereka harus berbagi frekuensi dengan penyelenggara satelit lainnya. Ini memungkinkan adanya integrasi dan koordinasi yang lebih baik dalam penggunaan pita frekuensi, serta memaksimalkan pemanfaatan spektrum yang tersedia. Kendati demikian, tantangan teknis dalam pengelolaan interferensi dan koordinasi antar penyelenggara satelit tetap harus diatasi untuk memastikan kualitas layanan yang optimal bagi pengguna.

Dengan memahami perbedaan antara BHP IPFR seluler dan BHP ISR satelit, kita dapat lebih memahami kerangka regulasi yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia serta implikasinya bagi penyelenggara layanan seperti Starlink. Ini juga menyoroti pentingnya pengelolaan spektrum yang efisien dan adil dalam mendukung pertumbuhan sektor telekomunikasi di Indonesia. (sa)

Related posts

Hadirkan Teknologi Palm Scanner, Telkomsel Gandeng Tencent Cloud

LombokMediaWatch

Pusat Data Nasional Diserang: Pelaku Minta Rp 131 Miliar, BSSN Ungkap Fakta

LombokMediaWatch

Pemilik Indosat Rogoh Rp 16,39 Triliun Demi Jadi Raja AI: Kolaborasi Ooredoo dan NVIDIA

LombokMediaWatch

Leave a Comment